Minggu, 22 Mei 2016

18 Tahun Mundurnya Soeharto dan Pengaruh Rezim Orde Baru

ACEHPOKER hadir untuk Anda semua pecinta permainan kartu Poker Online yang khususnya berada di Asia


Situs Acehpoker Online Terpercaya - Dalam peristiwa itu, 11 orang dinyatakan tewas, 200 orang lainnya luka-luka, dan lebih dari 800 orang ditangkap. Sebanyak 12 penerbit dicabut SIUPP-nya, termasuk Nusantara, Harian KAMI, Indonesia Raya, dan The Jakarta Times.

Tahun 1974 sering disebut-sebut sebagai awal dari kematian kebebasan intelektual di bawah rezim Orde Baru. Karena sejak terjadinya peristiwa itu, Orde Baru dengan ketat mengontrol sumber-sumber ide kebebasan di masyarakat.

Di tengah masih menghangatnya kerusuhan Malari, terjadi kerusuhan lain di daerah. Soeharto melakukan invasi dengan mengerahkan kekuatan tentara ke Timor-Timur yang menginginkan kemerdekaan atas Indonesia, pada tahun 1975-1976.

Dampak atas berbagai peristiwa itu adalah protes-protes mahasiswa menjelang Pemilu 1977. Senada dengan peristiwa Malari, aksi demonstrasi ini didukung oleh kekuatan militer yang mengambil jarak dari pemerintahan Soeharto.

Pada tahun ini, tuntutan untuk Soeharto turun dari jabatannya sudah mulai terdengar secara terang-terangan. Sebagai reaksi atas demo tersebut, Soeharto mengirimkan pasukan ABRI ke dalam kampus dan menangkapi 223 pimpinan mahasiwsa.

Untuk menekan gerakan mahasiswa, Soeharto kemudian membuat Undang-undang Normalisasi Kampus, pada 1978. Melalui undang-undang ini, gerakan mahasiswa di dalam kampus menjadi sangat terbatas dan selalu dalam pengawasan.
( Baca : Bonus New Member 10,000,- )
Para pemimpin mahasiswa yang berhasil ditangkap, dan masih berkeliaran di dalam dan luar kampus, kemudian dicap komunis. Kebiasaan ini biasa dilakukan Soeharto dan tentara, ketika menghadapi krisis yang terjadi di tengah masyarakat.

Tidak hanya mencekal berbagai kegiatan politik mahasiswa di dalam kampus, melalui undang-undang itu juga Soeharto dan berusaha menertibkan pers kampus, dan mencabut kembali SIUPP tujuh surat kabar di Indonesia.

Memasuki tahun 1980, Soeharto kembali menggunakan bahaya laten komunisme untuk menekan gerakan prodemokrasi. Kali ini sasarannya adalah gerakan buruh. Tercatat 2.000 buruh tambang dipecat karena tuduhan itu, pada 1986.

Penyelewengan kekuasaan yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila untuk membungkam gerakan demokrasi, akhirnya melahirkan kelompok Petisi 50 yang terdiri dari 50 tokoh untuk melakukan kritik terbuka terhadap rezim Orde Baru.

Balasan Soeharto atas kritik ini adalah tuduhan komunis kepada mereka, dan larangan kepada 50 tokoh itu bepergian ke luar negeri. Mereka juga dilarang membuat keterangan pers dan berbicara pada pertemuan-pertemuan umum, serta diasingkan.

Kerusuhan serius pada masa ini terjadi pada September 1984, di Tanjung Priok yang dipicu oleh perbuatan tidak pantas sejumlah oknum polisi di sebuah masjid. Aksi para oknum polisi itu dinilai menghina dan melecehkan umat Islam.

Dalam peristiwa ini, 200 orang dinyatakan tewas ditembak mati. Namun angka yang dikeluarkan pemerintah hanya menyebut 60 orang saja. Sedang ratusan orang lainnya mengalami luka-luka, dan 30 orang lainnya ditangkap.

Pada tahun yang sama, pembunuhan terhadap umat Islam juga terjadi Lampung, Sumatera Selatan, pada Februari 1989. Dalam setiap gesekan terhadap umat Islam, Soeharto dan rezimnya menggunakan dalih gerakan radikal dan terorisme.

Teror rezim Orde Baru di tengah masyarakat juga dilakukan dengan melakukan rangkaian pembunuhan secara berencana oleh tentara terhadap para pelaku kriminal. Operasi senyap ini dikenal juga dengan Penembak Misterius (Petrus).

Dalam operasi itu, pihak keamanan seluruhnya dinyatakan terlibat. Selama Maret 1983 hingga 1985, tercatat sebanyak 5.000 hingga 10.000 orang tewas dengan cara tragis, dan mayat mereka sengaja dibuang ke tempat-tempat umum.

Selanjutnya...

Agen Acehpoker Judi Online Terpercaya Di Seluruh Indonesia
http://www.acehpoker.com/ref.php?ref=LAHAN888

0 komentar:

Posting Komentar