ACEHPOKER hadir untuk Anda semua pecinta permainan kartu Poker Online yang khususnya berada di Asia
Situs Acehpoker Online Terpercaya - Di tengah pembantaian massal itu, Soeharto kembali melakukan pembredelan terhadap pers. Koran dan majalah seperti Jurnal Ekuin dibredel pada 1983 Expo, Topik, dan Fokus pada 1984, dan Sinar Harapan, pada Oktober 1986.
Tercatat, selama 1989 hingga 1990 terdapat lebih dari 100 perlawanan politik oleh mahasiswa, intelektual, pengajar Muslim, dan nasionalis. Termasuk perjuangan tiga aktivis mahasiswa di Yogyakarta yang menjual karya Pramoedya Ananta Toer.
Sepanjang tahun 1980, ada sekitar 14 judul buku yang masuk daftar cekal oleh pemerintah Orde Baru. Hingga tahun 1996, sedikitnya sudah 2.000 judul buku yang telah masuk daftar cekal. Pencekalan buku-buku itu, kini terjadi lagi.
Memasuki tahun 1990, teror rezim Orde Baru kian mengganas. Mulai dari kekerasan militer terhadap masyarakat sipil pada kerusuhan di Dili Timor Timur, di akhir 1991. Dilanjutkan pada gejolak politik yang melibatkan negara tahun 1996.
Saat itu, markas PDI mendapat serangan kekerasan untuk menggeser Megawati Soekarnoputri yang telah dipilih sebagai ketua PDI sejak 1993 terhadap orang yang disukai Soeharto, pada 27 Juli 1996, mengakibatkan kerusuhan di Jakarta.
Sebagai kambing hitam atas peristiwa itu, Soeharto menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalangnya, karena dianggap berbau komunis. Soeharto juga memainkan kerusuhan kelompok agama dan etnis disejumlah daerah.
Kerusuhan meluap di Situbondo, Jawa Timur, dan Taskmalaya, Jawa Barat, pada 1996. Di Kalimantan Timur, diciptakan bentrok berdarah antara suku Dayak di pedalaman dengan Madura. Di tengah suasana bentrok itu, Pemilu 1997 digelar.
Sejarah mencatat, rumbangnya setiap rezim di Indonesia, selalu ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang berlanjut menjadi kerusuhan massal dengan korban jiwa yang sangat banyak. Dugaan keterlibatan asing pun kembali menyeruak.
( Baca : Bonus New Member 10,000,- )
Dari sejumlah rentetan peristiwa itu, diketahui bahwa ketidakpuasan terhadap Soeharto dan rezim Orde Baru telah sangat luas. Perhatian atas situasi keamanan dan politik nasional itu juga menarik perhatian dunia internasional.
Pada pertengahan 1997, terjadi krisis moneter multidimensional yang sangat menyengsarakan rakyat. Krisis ini merupakan efek domino yang terjadi di Thailand. Dimulai dengan turunnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dolar AS.
Puncak dari krisis moneter di Thailand itu adalah penutupan 56, dari 58 lembaga keuangan utama, pada 8 Desember 1997. Krisis penurunan nilai mata uang bath ini diikuti krisi di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dampak dari krisis di negara-negara itu adalah larinya modal asing, dan ambruknya sistem perbankan. Di Indonesia, tanda-tanda datangnya krisis moneter terjadi pada minggu kedua, di bulan Juli 1997.
Saat itu, kurs rupiah merosot dari Rp2.432 perdolar AS menjadi Rp3.000 perdolar AS. Langkah Presiden Soeharto untuk menangani krisis ini adalah dengan meminta bantuan Dana Monoter Internasional (IMF) pada 8 Oktober 1997.
Namun langkah itu tidak banyak membantu. Soeharto kemudian menutup 16 bank. Tetapi nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp5.097 perdolar AS dan Rp9.800 pada 8 Januari 1998. Puncaknya mencapai Rp11.050, pada akhir Januari 1998.
Dampak krisis moneter bagi Indonesia adalah peningkatan jumlah pengangguran terbuka, dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta orang pada 1998. Hal ini secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat.
Di tengah situasi seperti itulah, masyarakat menjadi lebih berani menyampaikan keluhan-keluhan mereka. Unjukrasa mahasiswa pun semakin berani. Sejak itu, tuntutan Soeharto mundur semakin nyaring terdengar.
Selanjutnya...
Tercatat, selama 1989 hingga 1990 terdapat lebih dari 100 perlawanan politik oleh mahasiswa, intelektual, pengajar Muslim, dan nasionalis. Termasuk perjuangan tiga aktivis mahasiswa di Yogyakarta yang menjual karya Pramoedya Ananta Toer.
Sepanjang tahun 1980, ada sekitar 14 judul buku yang masuk daftar cekal oleh pemerintah Orde Baru. Hingga tahun 1996, sedikitnya sudah 2.000 judul buku yang telah masuk daftar cekal. Pencekalan buku-buku itu, kini terjadi lagi.
Memasuki tahun 1990, teror rezim Orde Baru kian mengganas. Mulai dari kekerasan militer terhadap masyarakat sipil pada kerusuhan di Dili Timor Timur, di akhir 1991. Dilanjutkan pada gejolak politik yang melibatkan negara tahun 1996.
Saat itu, markas PDI mendapat serangan kekerasan untuk menggeser Megawati Soekarnoputri yang telah dipilih sebagai ketua PDI sejak 1993 terhadap orang yang disukai Soeharto, pada 27 Juli 1996, mengakibatkan kerusuhan di Jakarta.
Sebagai kambing hitam atas peristiwa itu, Soeharto menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalangnya, karena dianggap berbau komunis. Soeharto juga memainkan kerusuhan kelompok agama dan etnis disejumlah daerah.
Kerusuhan meluap di Situbondo, Jawa Timur, dan Taskmalaya, Jawa Barat, pada 1996. Di Kalimantan Timur, diciptakan bentrok berdarah antara suku Dayak di pedalaman dengan Madura. Di tengah suasana bentrok itu, Pemilu 1997 digelar.
Sejarah mencatat, rumbangnya setiap rezim di Indonesia, selalu ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang berlanjut menjadi kerusuhan massal dengan korban jiwa yang sangat banyak. Dugaan keterlibatan asing pun kembali menyeruak.
( Baca : Bonus New Member 10,000,- )
Dari sejumlah rentetan peristiwa itu, diketahui bahwa ketidakpuasan terhadap Soeharto dan rezim Orde Baru telah sangat luas. Perhatian atas situasi keamanan dan politik nasional itu juga menarik perhatian dunia internasional.
Pada pertengahan 1997, terjadi krisis moneter multidimensional yang sangat menyengsarakan rakyat. Krisis ini merupakan efek domino yang terjadi di Thailand. Dimulai dengan turunnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dolar AS.
Puncak dari krisis moneter di Thailand itu adalah penutupan 56, dari 58 lembaga keuangan utama, pada 8 Desember 1997. Krisis penurunan nilai mata uang bath ini diikuti krisi di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dampak dari krisis di negara-negara itu adalah larinya modal asing, dan ambruknya sistem perbankan. Di Indonesia, tanda-tanda datangnya krisis moneter terjadi pada minggu kedua, di bulan Juli 1997.
Saat itu, kurs rupiah merosot dari Rp2.432 perdolar AS menjadi Rp3.000 perdolar AS. Langkah Presiden Soeharto untuk menangani krisis ini adalah dengan meminta bantuan Dana Monoter Internasional (IMF) pada 8 Oktober 1997.
Namun langkah itu tidak banyak membantu. Soeharto kemudian menutup 16 bank. Tetapi nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp5.097 perdolar AS dan Rp9.800 pada 8 Januari 1998. Puncaknya mencapai Rp11.050, pada akhir Januari 1998.
Dampak krisis moneter bagi Indonesia adalah peningkatan jumlah pengangguran terbuka, dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta orang pada 1998. Hal ini secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat.
Di tengah situasi seperti itulah, masyarakat menjadi lebih berani menyampaikan keluhan-keluhan mereka. Unjukrasa mahasiswa pun semakin berani. Sejak itu, tuntutan Soeharto mundur semakin nyaring terdengar.
Selanjutnya...
Agen Acehpoker Judi Online Terpercaya Di Seluruh Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar